Plataran

Rabu, 17 November 2010

Memulai Era Buku tanpa Kertas

Salah satu bagian baru dari sebuah cara baca
Republika, 22 Februari 2001

Sejak 9 Februari 2001 lalu, Penerbit Mizan meluncurkan sebuah inovasi di dunia perbukuan, yakni e-book alias electronic book. Ini adalah e-book pertama berbahasa Indonesia yang diluncurkan penerbit Indonesia. Kebetulan buku yang diterbitkan adalah buku terjemahan berjudu 'Wasiat Sufi Iman Khomeini kepada Putranya, Ahmad Khomeini'.

Kini buku elektronik berbahasa Indonesia sudah bisa ditengok di www.mizan.com atau www.ekuator.com. Untuk tahap awal, Mizan tidak menarik biaya kepada netter yang ingin menikmatinya. Mereka yang ingin menikmati buku tersebut hanya diminta mencatatkan diri sebagai anggota ekuator.

Rincinya, begitu masuk ke www.ekuator.com langsung tampil judul buku serta beberapa icon lain. Judul buku tersebut bisa diklik. Begitu diklik, netter diminta mengisi login name dan password. Sehingga sebelum itu harus mendaftar dulu sebagai anggota baru dengan mengisi formulir yang tersedia. Setelah mengisi login name dan password, muncul pilihan untuk men-download atau membuka buku tanpa men-download-nya. Setelah memilih salah satu, e-book Mizan pun bisa dinikmati.

Lewat inovasi itu, Mizan ingin membuat perubahan dalam tradisi perbukuan nasional. Selama ini, buku-buku yang beredar di pasar adalah buku cetak kertas. Tradisi buku kertas sudah berjalan berabad-abad di negeri ini. Sehingga peluncuran e-book bisa digolongkan langkah berani 'membelokkan' tradisi. Akan berhasilkah ?

Dalam waktu seminggu sejak peluncuran, buku digital Mizan sudah di-download sekitar dua ribu orang. Akhir Februari diperkirakan sekitar 4.000-5.000 orang sudah download buku digital Mizan. Sekitar lima sampai sepuluh persen download dilakukan oleh netter luar negeri. Menurut Arman Tarmizi, pengelola ekuator, Mizan menargetkan 20 ribu orang bisa men-download buku tersebut dalam waktu tiga bulan setelah diluncurkan.

Munculnya buku digital membuat anggota ekuator membengkak drastis. Sejak diluncurkan e-book, anggota ekuator bertambah lima ratus persen. Saat ini, mereka yang mencatatkan diri sebagai anggota ekuator sudah 2.500 orang. "Jumlah tersebut sesungguhnya bisa 2-3 kali lebih tinggi seandainya saja tidak ada gangguan teknis pada router di server ekuator di Indonesia," ungkap Arman.

Berhasil tidaknya uji kasus e-book akan menjadi panduan bagi Mizan untuk meneruskan bisnis buku digitalnya. Jika berhasil, kata Putut Widjanarko, direktur pelaksana Mizan, proyek buku digital akan diteruskan. Cuma, untuk tahap berikutnya, Mizan tidak lagi menggratiskan e-book yang dijual lewat internet itu.

Sayang, populerisasi e-book ini terkendala tradisi membaca yang masih akrab dengan fisik buku. Buku cetak membuat kita terbiasa membaca dengan berbagai posisi. Sambil naik bus, nonton TV, atau bahkan sambil klekaran (tiduran). Untuk mengubah kebiasaan ini perlu waktu lama dan usaha keras.

E-book belum memungkinkan dibaca dengan posisi seenaknya. Kebanyakan komputer yang tersambung ke internet adalah personal computer yang untuk menggunakannya harus dengan duduk tenang. Sebenarnya ada perangkat membaca e-book yang menyerupai buku. Tapi harga perangkat tersebut masih jauh dari jangkauan masyarakat yang mata uangnya masih rupiah.

Selain persoalan kebiasaan membaca, tarif pulsa telepon dan harga langganan internet juga jadi ganjalan. Makin tebal buku yang diedarkan digital, waktu yang diperlukan untuk membacanya pun makin lama. Sehingga dana yang dikeluarkan untuk membayar tagihan telepon dan langganan internet juga makin besar. Sementara itu, untuk bisa membaca buku cetak, kita tidak perlu berpikir keras tentang tarif telepon dan langganan internet.

Kendati begitu, dari sisi penerbit dan penulis, buku digital memiliki banyak keuntungan. Untuk meluncurkannya, sebuah penerbit tidak perlu menyediakan inventory cost yang besar. Sebab, penerbit tidak dibebani harga kertas, biaya cetak, serta dana distribusi yang biasanya cukup besar. Buku digital membuat buku bisa diterbitkan tanpa kertas, serta tanpa jaringan distribusi fisik yang mahal.

Sedangkan bagi penulis, buku digital bisa melepaskan gantungannya terhadap penerbit. Rendahnya inventory cost bisa membuat para penulis bisa menerbitkan bukunya sendiri. Sehingga mereka pun bisa menetapkan harga buku sesuka hatinya. Penghasilan yang mereka peroleh pun bukan hanya dari royalti, tapi dari seluruh penjualan buku digitalnya.

Sehingga, logikanya, era buku digital bisa merangsang penulis dan penerbit untuk makin banyak menerbitkan buku. Bisa juga, era buku digital membuat penerbit baru bermunculan.

Wajarnya, makin banyak penerbit yang tumbuh dan membengkaknya jumlah buku yang diterbitkan, persaingan antarmereka pun makin ketat. Dua dampak yang bisa muncul dari persaingan ketat itu adalah perang harga dan perang kualitas. Publik bisa mendapatkan keuntungan dari kedua perang tersebut.

Saat ini irama peperangan buku digital memang belum terasa. Penerbit yang sudah memulainya baru satu, yakni Mizan. Yang sudah terdengar bakal menyusul adalah Universitas Binus, Jakarta bekerjasam dengan Elex Media Komputindo. Kedua lembaga tersebut berniat menerbitkan secara digital handbook mahasiswa Binus. Upaya serupa juga dicoba untuk buku legenda silat 'Nagasasra dan Sabuk Inten'.

Dalam wacana buku dunia, e-book sebenarnya bukanlah barang baru. Salah satu kisah terkenal tentang buku digital adalah kisah tentang sukses Stephen King merangkul 400 ribu pembaca ketika novelnya Ridding The Bullet diterbitkan digital. Kemudian mulai Juli 2000, King malah menerbitkan sendiri buku digital berikutnya yang berjudul The Plant.

Buku pertama karya King diterbitkan dengan pengaman. Tapi pengamanan tersebut justru merangsang para hacker untuk menjebolnya. Sehingga pada buku kedua, King sama sekali tidak memasang pengaman. Dia hanya meminta para pen-download membayar satu dolar. Mulanya, 78 persen dari pen-download membayar. Sehingga King melanjutkan ceritanya. Tapi kemudian jumlah pembayarnya menurun. Sehingga Januari 2001, King menghentikan lanjutan ceritanya.

Langkah serupa pernah dilakukan Bookface. Berbeda dengan King, Bookface, tidak menyajikan seluruh bukunya dalam satu tampilan. Begitu, membuka satu halaman, maka halaman yang dibuka sebelumnya langsung hilang. Untuk mengambil tiap-tiap halamannya harus melakukan satu kali copy file. Tak hanya itu, Bookface juga memasang iklan di setiap lembaran bukunya.

Buku digital telah menjadi trend baru dalam dunia perbukuan. Tapi akankah buku digital itu mampu menggeser buku tercetak? Putut pernah mengungkapkan bahwa oplah cetak beberapa judul buku naik, ketika buku tersebut juga diterbitkan digital. Maka, penerbit buku cetak tidak perlu buru-buru risau dengan mulai bergulirnya era buku digital. irfan junaidi

0 komentar:

Posting Komentar